PARENTING : ‘Sebuah Tugas Sepanjang Usia’
oleh: Riffi Amalsyah
Bisa dikatakan PR seumur hidup semua orang tua di dunia, adalah parenting. Berakar dari kata ‘Parents’, maka parenting adalah tugas bersama antara pasangan suami istri. Sejak bayi terlahir, sesibuk apapun ibu di dapur dan sehebat apapun karier sang ayah di kantor, maka parenting adalah tugas yang dipikul bersama, sama adilnya. Tidak terkecuali bagi seorang ayah, dimana telah banyak penelitian yang menyampaikan bahwa perilaku yang sederhana seperti menggendong, memeluk, mengajak main anak yang dilakukan oleh seorang ayah dapat membuat anak memiliki perilaku yang kreatif dan psikologinya berkembang dengan baik. Peran ayah dalam merawat serta ikut mengasuh anak sedari dini terbukti dapat membentuk kompetensi sosial, inisiatif terhadap lingkungan, serta lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan baru.
Kewajiban memenuhi kebutuhan anak, tentu bukan hanya sandang, pangan dan papannya tapi juga kebutuhan untuk mengantarkannya menjadi pribadi berkarakter yang dewasa secara fisik dan psikologis, serta berakhlak mulia. Kompleksnya kewajiban tersebut, menjadikan banyak orang tua yang tidak bisa menikmati dan menyukai proses parenting. Di jaman sekarang saat begitu banyak teori parenting bertebaran di seminar/media elektronik/media sosial, terkadang membuat orang tua semakin bingung. Apakah ini cocok untuk keluarga saya? Apakah ini tepat untuk anak-anak kami yang ayahnya adalah pengawal kedaulatan negara, dimana kami tidak bisa bertemu di setiap harinya?
Tentu saja pertanyaan seperti itu tidak salah. Parenting dari masing-masing keluarga memungkinkan untuk berbeda satu sama lain. Itu normal, karena parenting memiliki banyak sekali faktor seperti karakter orang tua, pengalaman atau pola asuh yang pernah diterima orang tua saat mereka kecil, karakter anak kita, usia anak, dan lain-lain.
Saat anak-anak kita masih berada di usia sekolah awal, tugas kita mungkin seputar membekali mereka dengan kemampuan dasar calistung, motorik, dan ibadah. Selanjutnya saat anak mulai remaja, parenting akan bertemu dengan tugas pokok tambahan seperti: ’Pembelajaran tentang norma, agama, membangun karakter anak, dan norma-norma yang berlaku di masyarakat’. Tiba saatnya anak dalam fase dewasa awal, mereka kuliah dan bekerja, maka parenting tetap memiliki tugas penting: ‘Mendampingi mereka dalam memilih jalan karier, memilih jodoh, termasuk mendampingi mereka dalam masa sulit seperti patah hati, putus percintaan, Drop Out kuliah, dikhianati rekan di kantor, keluhan kesehatan karena pola hidup yang tidak sehat, dan masih banyak lagi.’
Bahkan saat anak-anak sudah memiliki keluarganya sendiri, tugas parenting selalu berjalan. Karena pernikahan, idealnya membuat orang tua memiliki ‘anak baru’ (mantu), dan akan terlibat dalam interaksi saat cucu terlahir kelak. Parenting, benar-benar tugas sepanjang usia.
Telah banyak seminar, artikel, dan buku yang membahas tentang parenting di masa anak-anak hingga remaja. Sementara itu, banyak fenomena penting terlupakan mengenai parenting, yaitu saat anak mulai berusia dewasa, seperti yang diangkat oleh salah satu email di artikel berikut :
“Bagaimana jika orang tua selalu menuntut ingin dibahagiakan?
Apakah kewajiban anak adalah membahagiakan orang tua?
Mengapa seolah-olah kebahagiaan orangtua adalah tanggung jawab anak?
Saya diminta mendaftar di Universitas yang mereka impikan,
saya dipaksa untuk berkarier di tempat yang mereka harapkan,
dan saya juga harus ikut menanggung beberapa kebutuhan yang mereka tetapkan,
sejak saat saya memiliki gaji.”
Dalam pembahasan Psikologi, inilah kondisi yang dinamakan dengan ‘Toxic Parents’, sebuah kondisi dimana orangtua membebankan anak untuk membahagiakan mereka, dengan standar tertentu yang sudah ditetapkan secara sepihak. Pepatah mengatakan bahwa kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah. Benarkah demikian?
Tak bisa dipungkiri, kasih orang tua memang tanpa batas. Tidak bisa diukur dengan apapun. Sebagai anak, kita pun mengerti dan sepakat. Akan tetapi, suatu hari anak juga akan dihadapkan dengan tanggung jawab baru. Dia akan memilih karier yang sesuai passion dan minatnya, dia akan bertemu pasangan hidup yang sesuai standar dan visi-misi hidupnya, dia akan menjadi orang tua bagi anak-anaknya. Dalam kondisi tersebut, bukan berarti anak tidak lagi sayang atau tidak lagi peduli/mengabaikan pendapat orangtuanya.
Disinilah parenting membutuhkan kolaborasi dengan kebijaksanaan. Telah cukup bagi orang tua saat dahulu memilihkan TK, SD, SMP, dan SMA terbaik bagi anaknya. Orang tua juga telah memfasilitasi anak dalam bertemu banyak komunitas di luar akademik. Anak-anak bahkan menerima apa adanya menu makanan dan selera pakaian yang kita sajikan pada mereka. Tiba saatnya mereka dewasa dan memiliki karakter tersendiri, selera pilihan mereka sendiri, maka parenting selanjutnya adalah memastikan mereka tetap menjadi individu yang baik, menjalankan perannya sesuai norma agama/hukum/adat/masyarakat, menjadi sosok yang bermanfaat, dan menjadi ‘partner’ anda. Menjadi kawan bicara anda yang ‘sejajar’, menjadi guru bagi beberapa perkembangan teknologi terkini, dan semua merasa bahagia karenanya.
Parenting yang sehat secara psikologis, harus diawali dari kesepakatan antara anda dan pasangan, bahwa anak yang akan dibesarkan ini adalah sosok yang unik, penting, istimewa, dan membutuhkan banyak curahan perhatian serta energi. Selanjutnya, pasangan orang tua juga harus siap menerima perubahan yang alami disebabkan oleh tumbuh kembang anak (peralihan masa balita ke anak, lantas ke masa remaja dan dewasa). Semua konflik yang terjadi pada proses parenting, bisa disikapi dengan bijak. Konflik itu alami, dan bisa diselesaikan dengan komunikasi yang baik dan komitmen bersama. Kalaupun kita dipertemukan dengan konflik yang berat dan sulit mencapai komitmen/komunikasi, kita selalu punya solusi dari jasa para Konselor pernikahan dan Psikolog terdekat. Karena parenting adalah sebuah tugas seumur hidup, semoga kita semua diberikan kemampuan untuk terus membekali dan melengkapi content parenting yang sedang kita jalankan.
Jakarta, 22 Oktober 2018
Sumber :
Kroll ME, Carson C, Redshaw M, Quigley MA (2016) Early Father Involvement and Subsequent Child Behaviour at Ages 3, 5 and 7 Years: Prospective Analysis of the UK Millennium Cohort Study. PLoS ONE 11(9): e0162339. doi:10.1371/ journal.pone.0162339
schoolofparenting.id
Catatan:
Penulis adalah Pengurus Persit Kartika Chandra Kirana Ranting BS Sahli PG Mabesad, sekaligus Pengurus di Kongres Wanita Indonesia (Kowani).