Minggu, Januari 08, 2012

AMALSYAH TARMIZI - Tokoh Lampung

Tokoh Lampung

 

(Sosok, Kiprah, Wawancara, Obituarium)

  1. Kolonel Czi. Amalsyah Tarmizi
    Danrem 043/Garuda Hitam Lampung



    KONDISI bangsa yang hiruk-pikuk oleh politik dan maraknya kriminalitas, rakyat merasa rindu kehadiran TNI. Itu tecermin dari banyaknya pernyataan “enakan zaman Pak Harto. Aman”. Kini, kerinduan rakyat ditemukan kembali dalam banyak kegiatan sosial kemasyarakatan yang digelar TNI.

    Peta keamanan dan gangguan ketertiban masih melekat di Provinsi Lampung. Berbagai insiden dan kriminalitas terus terjadi di berbagai sudut daerah dan melukai rasa aman warga. Padahal, polisi sudah berupaya keras untuk mengantisipasi dan menindak pelaku.

    Dalam rasa waswas yang tak kunjung terobati, berbagai cara dilakukan warga. Dari melakukan siskamling, mempersenjatai diri, menghindari daerah-daerah terindikasi rawan kejahatan, hingga sekadar mengeluh. Saat keluhan tak mendapat jawaban, warga mulai menghela napas seraya berkata; “enakan zaman Soeharto, ya. Aman!”

    Saat itu, TNI aktif ikut berperan di masyarakat dengan dwifungsi ABRI. Kini, melalui undang-undang, tentara ditarik ke barak dan menjalankan fungsinya sebagai instrumen pertahanan. Maka, tak jarang warga awam menyebut TNI sudah tidak peduli rakyat lagi.

    Bagaimana sebenarnya posisi TNI di tengah masyarakat? Berikut petikan wawancara wartawan Lampung Post Iskandar Zulkarnain dan Sudarmono dengan Danrem 043/Garuda Hitam Kolonel Czi. Amalsyah Tarmizi, Selasa (3-1).

    Lampung hari ini masih berkabung dengan desas-desus kasus Mesuji. Kriminalitas, terutama begal motor, seperti tren di beberapa daerah. Polisi seperti tidak sanggup. Bagaimana peran TNI di sini?


    Baik. Kita tahu, sejak reformasi, TNI dan Polri kan dipisah. Dengan undang-undang itu, tugas masing-masing sangat jelas. Oleh karena itu, TNI bukan tidak peduli dengan kondisi ini, tetapi pemilahan tugasnya sudah berbeda. Polisi menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, sedangkan TNI bertugas sebagai pertahanan dan pengamanan negara dalam arti luas.

    Saat ini rakyat rindu dengan kehadiran TNI dalam rangka membantu keamanan. Apa tidak dimungkinkan TNI berperan lagi?


    Untuk menjadi kesadaran bersama, keamanan dan ketertiban adalah tugas kita bersama seluruh elemen bangsa ini. Ini bukan tugas polisi saja. Posisi TNI hampir sama dengan warga lain. Tetapi, sebagai warga yang memiliki kemampuan dan difasilitasi negara dengan instrumen pertahanan, TNI wajib mengambil peran yang lebih besar ketimbang warga sipil.

    Saya sebagai tentara dan juga anggota lainnya, jika menemukan aksi kriminalitas di berbagai tempat, ya kami tangkap. Setelah itu, kami serahkan kepada polisi untuk diproses hukum. Tetapi kalau kami menyengaja mengejar penjahat, itu jadi tidak tepat dengan tugas dan fungsinya.

    Apa pun, rakyat ingin rasa aman itu pulih. Apa yang bisa dilakukan TNI untuk membantu?


    TNI dalam satu wilayah, tugas utamanya adalah pertahanan. Namun, TNI adalah salah satu institusi pembina teritorial. Oleh karena itu, kami juga selalu ingin mendekat kepada masyarakat dengan berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Intinya, kami ingin menjadi bagian dari masyarakat. Makanya, di sini kami punya program ke depan, Memasyarakatkan Korem 043/Gatam. Tujuannya agar antara TNI dan rakyat menyatu dalam kebaikan.

    Apakah ini akan punya dampak munculnya rasa aman?


    Kami punya keyakinan seperti itu. Hadirnya anggota TNI di tengah masyarakat secara kasat mata pasti akan memberi efek segan kepada orang yang mempunyai keinginan jahat. Itu pasti. Sebagai contoh, kalau ada tentara mengobrol dengan warga di pos ronda atau di tempat lain, misalnya, pasti akan merasa lebih aman.

    Tetapi bisa sebaliknya, muncul rasa takut warga karena curiga ada apa?


    Iya, kalau tentara satu peleton. Itu mungkin yang dicurigai para aktivis. Makanya, sekarang kehadiran TNI di tengah masyarakat lebih bersifat kegiatan sosial. Itu untuk mengantisipasi kesan buruk yang mungkin muncul saat kehadiran TNI.

    Untuk masyarakat ketahui, kami jajaran Korem Garuda Hitam terus mendukung dan berperan aktif dengan program-program yang sejalan dengan pemerintah. Isu lingkungan hidup yang saat ini tengah digalakkan, kami berencana menanam 10 juta pohon di Lampung.

    Di Lampung ada hampir seribu babinsa (bintara pembina desa). Setiap babinsa akan menggerakkan warga untuk menanam 10 ribu pohon. Jadi, pada saatnya nanti tertanam 10 juta pohon.

    Banyak lagi kegiatan kemasyarakatan dan keagamaan. Ada program TNI Masuk Masjid. Ini nama program saja. Bagi anggota yang beragama lain, tentu ke tempat ibadah sesuai keyakinannya. Dan masih banyak lagi untuk lebih dekat lagi dengan masyarakat. Sementara program TNI Manunggal KB dan Kesehatan seperti yang selama ini ada tetap diteruskan.

    Kalau rencana strategi Anda untuk Korem Gatam apa?


    Ada istilah, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Saya orang Lampung, saat bertugas di Bandung, saya ngomong Sunda. Saat studi di Akabri di Magelang, saya berusaha keras untuk bisa ngomong Jawa. Di Palembang lebih mudah. Apalagi di Lampung, tanah kelahiran. Jadi, saya bekerja selalu harus dalam suasana yang menyenangkan. Dan untuk membangun suasana menyenangkan, kita harus sesuaikan dengan lingkungan.

    Strategi ke dalam?

    Secara fisik, kantor dan lingkungan instalasi militer ini harus dirawat dan diperbaiki. Kedua, mentalitas prajurit TNI harus menjadi teladan atau contoh. Saya punya target, nol kesalahan dalam tugas. Kalau istilah dunia kerja, zero accident. Saya tidak toleransi anggota yang melanggar. Jangan pernah ada dan terjadi konflik antara TNI dan polisi, apa pun alasannya. Sebab, peristiwa seperti itu adalah kabar paling memalukan di hadapan rakyat. Tidak ada anggota TNI terlibat kriminal, tidak ada beking-beking, tidak ada pelaku maksiat. Itu tidak saya toleransi.

    Strategi ke luar?


    Ya, sebagai salah satu lembaga pembina teritorial, kami terus menjalin hubungan harmonis dengan pejabat pemda untuk memadukan setiap program. Intinya, kami ingin dan harus dekat dengan masyarakat. Dengan demikian, kami ingin punya manfaat dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. n




    Filosofi ‘Esem Bupati’

    RUANG kerja Komandan Korem 043/Garuda Hitam Lampung, Selasa (3-1). Lima perwira di kesatuan itu mendampingi Kolonel Czi. Amalsyah Tarmizi diwawancarai Lampung Post. Dengan uniform lengkap, mereka takzim mendengar dan siap dengan segala kemungkinan menyampaikan pernyataan dan data.

    Wawancara belum dimulai, tetapi orang nomor satu di jajaran TNI AD Lampung itu sudah membuka dengan cerita tentang kondisi kesatuan, tugas-tugas, dan strateginya. Ya, lebih terasa sebagai cerita berhikmah dan obsesi yang kuat untuk menyempurnakan tugas ketimbang disebut sebagai statement seorang Danrem. Sebab, nadanya santai, joke-joke bertebaran, filosofi-filosofi bermunculan, dan sering diakhiri dengan tawa lebar.

    Anak kedua dari delapan bersaudara Tarmizi Nawawi dan Rosmaniar ini memang bukan prajurit biasa. Meskipun sudah berpangkat kolonel pada usia 48 tahun dan menjadi komandan korem, ia adalah serdadu yang hampir selalu bersentuhan dengan masyarakat sepanjang masa tugasnya.

    Bahkan, pernah tersirat melepas status TNI-nya gara-gara keasyikan menjadi manajer Sriwijaya FC di Palembang.

    Wawancara dengan bapak tiga anak ini memang tidak seperti konfirmasi dengan petinggi militer. Ditanya soal strategi memimpin tentara, dengan ringan dia memberi satu jawaban. "Ya, enggak usah marah lah. Begitu saja!" kata dia.

    Soal jawaban ini, anak mantan asisten Pemprov Lampung zaman pembentukan provinsi ini memegang teguh kearifan Jawa. Dengan lancar dia menyebut filosofi stratifikasi sikap dalam bahasa Jawa.

    "Ada tiga tingkatan. Pertama, esem bupati. Kedua, sopo mantri. Dan ketiga, dupak kuli. Esem bupati itu artinya senyum seorang bupati yang dilambangkan sebagai pimpinan. Sopo mantri artinya sapaan mantri yang bermakna sesama. Sedangkan dupak kuli itu artinya tendang buruh. Nah, sebagai pimpinan tidak perlu kita marah. Cukup senyum sinis saja, seharusnya staf sudah paham. Jangan seorang pemimpin memberi arahan kepada staf seperti kepada kuli, harus pakai didupak. Nah, sebaliknya, bawahan juga harus mengerti filosofi ini. Jadi, kita enggak perlu marah-marah, asal saling tahu posisi," kata Amalsyah.

    Profil tentara yang garang memang tampak para performanya. Namun, meskipun orang tuanya bukan prajurit, Amalsyah lahir dalam keluarga besar TNI yang berkarier tinggi. Saat lahir pada 10 Juni 1962, orang pertama yang menyambut dengan kumandang azan adalah Letkol Abdul Gani. Ia adalah paman yang bertugas sebagai pengawal presiden dan baru saja pulang mengawal Soeharto bertugas di Irian Jaya. “Pas hari kelahiran saya itu juga Jenderal Gatot Soebroto meninggal dunia. Maka, paman dan ayah saya bilang anak ini akan jadi tentara nanti,” kata Amalsyah menirukan cerita ibundanya soal kelahirannya.

    Suasana sipil yang melekat dalam kepemimpinan Amalsyah memang tak lepas dari tugasnya selama menjadi tentara. Alumnus Akabri 1985 ini sejak menjadi perwira lebih banyak bertugas bersentuhan dengan masyarakat. Zaman dwifungsi ABRI, ia sempat ditempatkan di kantor Sospol. Bahkan, kedekatannya dengan dunia olahraga mengantarkan putra Lampung kelahiran Jakarta itu dua kali menjadi komandan kontingen PON Sumatera Selatan.

    “Terakhir, saya menjadi manajer Sriwijaya FC Palembang. Saya sempat bersama Rahmad Darmawan mengantar Sriwijaya FC meraih prestasi nasional. Pergaulan yang tulus yang membuat saya bisa seperti ini,” kata dia. (SUDARMONO)


    BIODATA

    Nama : Kolonel Czi. Amalsyah Tarmizi, S.I.P.
    Kelahiran : Jakarta, 10 Juni 1962
    Istri : Kania Riffianti, S.Sos.
    Anak :
    1. Aji Bima Amriza
    2. Arvin Ditto Amriza
    3. Amalia Shafa Amriza

    Pendidikan :
    - SD Teladan Tanjungkarang (1974)
    - SMPN 2 Tanjungkarang (1977)
    - SMAN 2 Tanjungkarang (1981)
    - Akabri Magelang (1985)
    - Universitas Terbuka (1986)


    Sumber:
    Wawancara, Lampung Post, Minggu, 8 Januari 2012