Minggu, Mei 01, 2011

Kesetiaan

- Cerita Pendek, oleh Riffi Amalsyah -
(Dimuat dalam Majalah Kartika Kencana Edisi 84/Th.XXVII-Juli2010)



Vira menyeka titik-titik peluh di wajahnya. Sudah dua jam ia memasuki berbagai toko buku, namun tak kunjung ditemukannya buku yang ia perlukan. Udara di tengah hari itu cukup membuat gerah. Lalu lintas pun seakan terpengaruh karenanya, dengan kemacetan arus kendaraan di sekitar pertokoan tersebut, meski sesungguhnya itu lebih disebabkan oleh ramainya orang-orang yang menggunakan waktu istirahat siang untuk makan dan urusan lainnya.
Sebuah toko buku yang cukup ramai walaupun tidak megah, membuat Vira menghentikan mobilnya dan memasuki toko tersebut. Begitu tiba di dalamnya, ia melihat banyak koleksi buku berderet di sepanjang dinding toko itu. Setelah memperoleh buku yang dicari, wajahnya seketika berubah ceria. Tanpa disadari, senyumnya mengembang saat ia membalik-balik halaman buku tersebut. Keadaan ini memancing perhatian seorang pria yang sejak Vira bertanya kepada pramuniaga tadi telah beberapa kali mencuri pandang kepadanya dan mengamatinya.
Benarlah, ia memang Vira, kata hati pria itu. Ternyata ia telah menjadi seorang wanita yang matang… Mengapa dulu aku tidak memperkirakannya, batinnya.
”Banyak juga buku yang dicari, Bu?" tanyanya setelah berada di samping Vira.
Konsentrasi Vira tidak terusik sedikitpun, sehingga pria tersebut mengulangi pertanyaannya.
Akhirnya Vira bereaksi sambil menoleh sekilas pada pria itu. "Iya, betul Pak…", Vira mengembalikan perhatian pada bukunya.
"Oo… begitu," ujar pria itu.
Mendengar suaranya, wajah Vira memancarkan ekspresi terkejut hingga sesaat ia mematung dengan dagu terangkat dan pandangan kosong ke depan. Rasanya aku pernah mendengar suara orang ini, pikirnya.
Suatu getaran menguasai seisi relung batinnya. Vira menoleh kepada pria tersebut yang tengah menunduk membaca sebuah buku sambil tersenyum. Vira mengorek ingatan samar-samar di dalam benaknya.
Pria itu menoleh dan menatapnya. Seketika itu juga Vira dapat lebih jelas mengenali wajah pria itu. Hatinya terkesiap, matanya terbuka lebih lebar. Oh… Guntur, bagaimana mungkin aku melupakanmu…, ujarnya dalam hati.
“Apa kabar, Vir?” tanya pria itu tersenyum.
Denyut jantung Vira berpacu kuat, “Eee… Aa… Aku baik-baik saja…,” Vira mengalihkan perhatian kembali pada bukunya untuk menutupi rasa gugup.
“Hei… Vira. Sudah lama tidak bertemu, tidak ingin menyalami aku?” Guntur mengulurkan tangannya.
“Oh… Iya, iya... maaf…” Vira menyambut jabatan tangan Guntur. “Apa kabar juga denganmu, Mas?” suaranya agak gemetar.
“Aku baik-baik saja… Sedang cari buku apa, Vir?” Guntur belum melepaskan tangan Vira.
“Biasa… untuk keperluanku mengajar. Kebetulan aku sedang tidak mengajar, jadi kugunakan waktu hari ini mencari buku yang kuperlukan untuk para mahasiswaku.”
“Oh… pekerjaanmu dosen, rupanya. Apa buku yang dicari sudah kamu temukan?” Guntur masih menggenggam tangan Vira dengan pandangan menelusuri paras ayunya.
Vira bertambah salah tingkah. “Sudah… Ini, yang sedang aku baca,” Vira berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Guntur. “Permisi sebentar, ya…” Kenapa kamu jadi begini, Vir…? Tunjukkan rasa percaya dirimu dong, hati Vira berbisik.
Memahami sikap Vira, Guntur melepaskan genggaman tangannya. Selanjutnya Vira berpura-pura masih mencari-cari buku, namun seakan tidak peduli Guntur terus mengikutinya, hingga saat Vira menghampiri meja Kasir pun Guntur bersikeras membayarkannya meski Vira sudah berusaha menolaknya.
“Terima kasih banyak, Mas. Maaf, aku sudah merepotkan,” ujar Vira setibanya di luar.
“Jangan sungkan begitu, kita kan bukan baru kenal kemarin.”
Kalau memang demikian, mengapa dulu kau tak memberi kabar, batin Vira bertanya. “Mas Guntur tinggal di sini ?”
“Ya, baru seminggu. Aku baru pindah ke kota ini. Dan kau sendiri?”
“Aku sudah hampir satu tahun tinggal di kota ini, sejak suamiku menerima tugas barunya... Baiklah, aku pulang dulu, Mas.”
“Kamu mau ke mana lagi, Vir ? Ayo, aku antar,” Guntur menawarkan jasa.
“Terima kasih, Mas. Mobilku diparkir di sana, silakan kalau Mas Guntur masih ada kegiatan lain... Sampaikan salamku untuk Mbak Eva, ya…”
Vira hendak berbalik, namun Guntur menarik tangannya tanpa mempedulikan pandangan orang-orang di sekelilingnya. “Tunggu, Vir. Kamu mau pergi begitu saja, setelah sepuluh tahun lebih kita tidak bertemu? Kamu tidak senang bertemu denganku?”
“Ah… Bukan begitu, Mas. Aku hanya tidak mau mengusik kegiatanmu,” dalih Vira menghindari tatapan Guntur.
“Kalau memang aku merasa terusik, untuk apa aku menawarkan diri ingin mengantarmu..?”
Vira membisu. Oh, Tuhan… Mengapa dia tidak mau beranjak pergi..? Mengapa Kau pertemukan lagi aku dengannya..., keluh hati Vira.
“Aku ingin mengajakmu makan siang, boleh ?” tanya Guntur dengan tatapan memohon.
“Maafkan aku, Mas. Bukannya aku tidak mau, tapi anak-anakku di rumah sudah menunggu. Hari seperti ini saat aku bebas tugas mengajar, mereka berharap bisa makan siang bersamaku,” Vira masih berusaha mengelak pendekatan Guntur.
Merasa ditolak sedemikian rupa, Guntur mengalah, “Ya sudahlah, kalau memang kamu tidak sempat, aku tidak memaksa. Padahal banyak sekali yang ingin kubicarakan denganmu. Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi.”
“Baiklah… Sekali lagi terima kasih, Mas. Aku pulang dulu.”
“Hati-hati, Vir. Salam untuk suamimu,” Guntur sama sekali tak beranjak dari tempatnya sampai Vira dan mobilnya hilang dari pandangan ditelan kepadatan lalu-lintas.


**********


Selama seminggu ini, pikiran Vira tidak tenang. Tak seperti biasanya, kini ia merasakan rindu sangat mendalam kepada suaminya, Bayu. Meskipun Bayu keluar kota selama beberapa hari bukanlah hal yang luar biasa bagi Vira – dibandingkan saat ia harus berbulan lamanya menanti kepulangan Bayu dari tugas operasi di daerah rawan konflik maupun rawan bencana – namun kini ia benar-benar merasa sangat membutuhkan Bayu untuk diajaknya berbagi rasa. Padahal, baru tadi pagi Bayu meneleponnya, mengabarkan ia akan tiba sore nanti.
Peristiwa pertemuan dengan Guntur beberapa hari kemarin telah membawa angannya kembali pada masa lalu. Ia tidak akan pernah lupa pada kenangannya bersama Guntur...
Vira masih duduk di bangku Kelas III Sekolah Menengah Atas saat pertama kali berjumpa dengan Guntur – mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur Semester VI – di pesta ulang tahun sahabatnya. Dari perkenalan itu selanjutnya mereka menjadi akrab, karena Guntur sering berkunjung ke rumahnya dan mereka sering jalan bersama.
Setelah persahabatan mereka berjalan sekitar satu tahun, saat Vira berstatus sebagai mahasiswa baru di Fakultas Ekonomi, ia mulai menaruh hati kepada Guntur akibat kebersamaan mereka. Namun perasaannya itu tidak pernah sekali pun diungkapkannya kepada Guntur, karena meski selama ini Guntur sering menunjukkan rasa sayang kepadanya melebihi persahabatan biasa, tetapi Guntur selalu menganggapnya seperti layaknya seorang anak kecil. Vira menyadari benar kenyataan itu, mengingat Guntur selalu memanggilnya dengan sebutan “adik kecil”.

Dari sahabat Guntur, Vira mengetahui bahwa Guntur memiliki seorang kekasih di kota asal tempat tinggalnya, yaitu Eva, teman sekelasnya saat di SMA. Vira sering menggoda Guntur untuk mengakui hal itu, namun Guntur selalu menghindar dengan mengalihkan pembicaraan dan tidak pernah mau mengakuinya. Perasaan Vira menjadi tak menentu karenanya...
Dua tahun berlalu setelah itu, Guntur menyelesaikan kuliahnya. Ia kembali ke kota asalnya. Pada awal kepergiannya, ia masih menyurati Vira secara teratur – sebulan sekali – menceritakan bagaimana ia mulai bekerja sebagai Arsitek di sebuah perusahaan konstruksi, bagaimana ia menghadapi bosnya, dan banyak cerita lainnya, namun tiada satu surat pun yang bercerita tentang sisi kehidupannya yang paling pribadi, tentang siapa pacarnya. Hal ini semakin membingungkan Vira, karena Vira selalu bercerita tentang apa pun perasaannya, kecuali rasa sayangnya yang telah berubah menjadi rasa cinta yang terpendam kepada Guntur.
Di dalam surat-suratnya, Vira bercerita kepada Guntur tentang beberapa teman kuliah maupun kenalan yang menyatakan menaruh hati kepadanya namun tidak ada satu pun yang dapat mengisi hatinya, karena ia merasa diri “masih kecil”, “masih muda”, dan sebagainya. Ia tidak pernah menyatakan bahwa alasan penolakan atas semua pria yang mendekatinya adalah karena ia masih selalu mengharapkan Guntur-lah yang dapat menjadi kekasihnya…
Menjelang akhir kuliahnya, Vira mulai jarang menerima surat dari Guntur bahkan akhirnya sama sekali tak lagi menerimanya, namun demikian Vira masih tetap menyuratinya. Vira berpikir, mungkin Guntur telah sedemikian sibuknya dengan pekerjaannya, demi kelancaran perjalanan karirnya.

Tiada terasa waktu berlalu, hingga Vira telah menyelesaikan kuliahnya. Sebelum menjadi dosen tetap kini, ia bekerja sebagai pegawai honorer di sebuah perusahaan konsultan manajemen. Di tempat itulah ia mulai berkenalan dengan Bayu, seorang Perwira muda TNI Angkatan Darat. Tugas dan pekerjaan Bayu yang berhubungan dengan bidang konstruksi dan berkaitan dengan perusahaan tempat Vira bekerja, telah mempertemukan mereka dalam hubungan pekerjaan.
Pembawaan Bayu yang tenang, memiliki kharisma yang membuat Vira senang bergaul dengannya, meski usia Bayu lebih tua darinya, berselisih sekitar tujuh tahun. Luasnya wawasan pengetahuan pemuda itu banyak membimbing dan membuka pikirannya, sehingga Vira dapat segera menyesuaikan diri dengan lingkungan kerjanya dan sungguh menikmati seluruh pekerjaannya.

Baru sekitar 6 bulan Vira bekerja, saat menghadiri pernikahan sahabatnya semasa kuliah, ia bertemu dengan sahabat Guntur. Dengan gembira ia bertanya tentang kabar Guntur, namun jawaban yang diterima membuatnya merasa seakan dunia berhenti berputar, “Guntur sudah menikah dengan Eva, teman SMA-nya itu…” Selanjutnya ia menangkap pembicaraan sahabat Guntur itu bahwa mereka sudah berkali-kali putus pacaran, lalu menyambung lagi, kemudian putus lagi, menyambung lagi, dan seterusnya, hingga akhirnya mereka jadi menikah juga.

Suara teriakan anak-anaknya – Ksatria dan Rio – yang menyerukan Bayu telah tiba, menyadarkan Vira dari lamunannya. Ah… kenapa aku jadi tukang melamun begini, keluh hatinya. Bergegas ia ke ruang depan menyambut kedatangan suaminya itu. Hatinya lega, Bayu sudah kembali ke rumah dengan selamat.
“Capek ya, Mas?” Vira mencium punggung tangan Bayu dan mengambil tas kerja yang diletakkan di kursi tamu oleh Pak Kardi, supir dinas suaminya. “Aku siapkan air hangat untuk mandi, ya ? O’ya, sebentar… aku buatkan kopi dulu,” Vira dengan segera telah melaksanakan kembali tugas rutinnya setiap Bayu baru tiba kembali di rumah.
“Nanti dulu dong, Dek…” bisik Bayu menggoda Vira. “Aku tidak ingin minum kopi, tapi aku ingin kamu... Sini… aku kangen sekali padamu,” Bayu memeluk Vira dari belakang, hingga Ksatria dan Rio tertawa-tawa melihatnya.
“Mas… malu ditertawakan anak-anak, itu…”
Meski sudah tujuh tahun menikah, Vira masih saja suka tersipu-sipu menanggapi perilaku Bayu yang senang menggodanya. Sikap tersipu-sipu Vira itulah yang membuat Bayu selalu merindukannya.

**********

Vira membetulkan selimut yang tersingkap saat Bayu mengangkat lengan untuk memeluknya. Desah nafasnya teratur, Vira mengeratkan pelukan sambil termenung memandang raut wajah tampan suaminya…
Delapan tahun lalu, Bayu melamarnya saat ia mulai melupakan Guntur. Setelah selama hampir satu tahun Vira menyelami sikap dan perilaku Bayu sejak mereka mulai berkenalan, Bayu nampak memberikan perhatian yang sangat istimewa terhadap Vira, dibandingkan dengan semua teman laki-laki Vira. Sifatnya yang penyabar telah meluluhkan hati Vira, terutama saat menghadapi sikap Vira yang terkadang dirasakannya sendiri sebagai sikap kekanak-kanakan.
Saat itu Vira beranggapan bahwa Tuhan telah mengirimkan kepadanya seseorang hanya sebagai pelipur duka dan penyembuh patah hatinya. Namun kemudian ia percaya bahwa anggapannya semula itu adalah kurang benar, karena ternyata ia sangat mencintai Bayu, setelah ia menyadari bahwa ketertarikannya kepada Bayu sesungguhnya karena ia juga telah menaruh hati kepadanya.
Memang, terkadang ia masih mengingat kenangannya bersama Guntur, namun hanya di masa awal pernikahannya. Tentang segala sesuatu mengenai Guntur dan hubungannya dengan pria itu, diceritakannya semua kepada Bayu. Selanjutnya, Vira berusaha untuk melupakan sama sekali kenangan tersebut, didasari keyakinan bahwa ia tidak boleh menodai ikatan suci perkawinan mereka.
Meski demikian, Bayu bersikap toleran dengan sesekali menanyakan kepadanya apakah ia mendengar kabar tentang Guntur, saat menyelangi pembicaraan mengenai masa lalu masing-masing…
Helaan panjang nafas Bayu mengembalikan kesadarannya. Alangkah bersyukurnya aku menjadi istrimu, Mas Bayu… Tanpa terasa, ia pun menyusul Bayu menuju alam mimpi…


**********


Vira memasuki ruang kerja Bayu dengan langkah ringan, setelah sebelumnya ia mengetuk pintu. Di sela waktu luangnya, ia menyempatkan diri bertemu Bayu di Batalyon. Tadi pagi mereka sudah saling berbincang, tetapi kerinduannya seakan belum habis. Di dalam ia melihat Bayu sedang berbicara dengan seseorang, namun ia tak mengenalinya karena pria itu duduk memunggunginya.
Melihatnya masuk, Bayu segera mengenalkannya dengan pria tersebut, “Hallo, Dek. Kenalkan, ini Mayor Guntur, calon Wadan baru yang akan menggantikan Mayor Haris. Tur, kenalkan… ini istriku, Vira…”
Pria itu berdiri dan berbalik menghadapinya seraya hendak mengulurkan tangan. Jantung Vira kembali terkena sengatan seperti beberapa hari yang lalu. Demikian pula halnya dengan Guntur, ia pun seakan kembali dihadapkan pada komandan yang diseganinya di masa lalu hingga seketika mengambil sikap sempurna.
Melihat ekspresi wajah kedua orang di hadapannya, Bayu serta-merta menyadari bahwa inilah “Guntur” yang selalu diceritakan Vira. Semula ia memang tidak pernah berpikir sampai ke situ.
Untuk sejenak keheningan menguasai dan melingkupi ruangan itu seolah hendak menelan mereka semua yang berada di dalamnya. Namun setelah itu Bayu sekejap mencairkan kebekuan suasana itu, “Hei, hei… Buat apa kukenalkan kalian… Kalian sudah saling kenal ‘kan?”
Vira tersadar dan tersipu malu. Ia mengulurkan tangannya kepada Guntur. Menyaksikan keadaan ini, Bayu yang sangat memahami perasaan istrinya yang sangat ingin mengetahui kabar tentang Guntur – setelah selama bertahun-tahun ini menyelimuti perasaan Vira – dengan arif menyilakan mereka berdua untuk saling berbicara.
“O’ya… Aku mau lihat dulu persiapan di Ruang Data. Kamu jangan pulang dulu ya, Dek” ujar Bayu kepada Vira. Lalu ia menoleh kepada Guntur, “Tur… Tolong kamu temani dulu istriku mengobrol di sini, ya… Sebentar aku kembali.”
Tinggallah Vira bersama Guntur di dalam ruangan Bayu selepas ia keluar dari tempat itu.
Mereka duduk berhadap-hadapan. Guntur yang beberapa hari lalu aktif mendekati Vira, kini terdiam membisu. Vira mencoba membuka percakapan.
“Aku baru tahu kalau Mas Guntur yang akan menggantikan Mayor Haris…”
“Ee… Iya, Vir… Baru hari ini, tadi pagi aku ke Kodam dengannya didampingi oleh suamimu,” Guntur mulai dapat menguasai dirinya kembali. “Aku juga baru tahu kalau calon komandanku itu suamimu...”
“Aku juga baru tahu kalau Mas Guntur ternyata adalah seorang prajurit Angkatan Darat, aku masih mengira Mas bekerja di perusahaan swasta itu... Sama sekali tak kukira bahwa selama sekian tahun ini kita berada dalam lingkungan yang sama,” sahut Vira pelan.
Guntur tersenyum, “Setelah hampir 2 tahun bekerja di perusahaan itu, aku memutuskan untuk menjadi seorang prajurit. Tapi tidak seperti suamimu yang lebih banyak tugas tempur di lapangan, aku lebih banyak bertugas sebagai Staf karena profesiku ini. Dan kini... di sinilah aku bertugas sekarang.” Guntur menghela nafas, “Maafkan sikapku yang lalu…”
“Sikap Mas yang mana ? Ah… Jangan dipikirkan, Mas…”
“Selama ini aku tidak pernah menghubungi kamu lagi, karena aku sibuk dengan pekerjaanku…”
“Tidak apa-apa, Mas. Yang penting aku senang mendengar Mas Guntur bahagia,” Vira tersenyum. Aneh, mengapa sekarang aku bisa setenang ini menghadapinya, pikirnya.
“Tapi aku tidak bahagia, Vir. Sesungguhnya dulu aku mencintaimu, Vir… sampai setelah perpisahan itu, bahkan hingga kini pun aku masih selalu merindukanmu…”
Alis Vira terangkat. Ekspresi wajahnya menunjukkan keinginan bertanya, tetapi Guntur terus berbicara.
“Sampai kini, Eva pun hanya memiliki ragaku, tetapi tidak jiwaku… karena hatiku telah kamu bawa, Vira…” Guntur menatap mata Vira.
“Jangan berkata demikian, Mas. Itu tidak pantas…” Rasa simpati Vira kepada Guntur lenyap seketika.
“Tapi itu kenyataannya, Vir. Aku berada pada dua pilihan saat itu, kamu atau Eva. Sejak SMA aku sudah terlanjur mengikat janji dengan Eva, untuk bersamanya kelak hingga menikah. Aku tak bisa mengingkari janjiku, hubungan kami sudah sedemikian dekatnya. Tapi kemudian aku bertemu denganmu, kamu sudah menawan hatiku, aku mencintaimu. Namun untuk mengatakannya, sungguh tidak mungkin.”
Bayangan kabur yang dulu sering menghantui Vira, kini lenyap begitu saja… Ia telah tiba pada kesimpulannya... Ia sudah mengetahui kelanjutannya…
“Mas Guntur, ketahuilah bahwa aku tidak pernah mencintaimu. Aku menyayangimu hanya sebagai seorang kakak…”
Guntur tertegun.
“Mas Guntur sendiri yang selalu memanggilku dengan sebutan ‘adik kecil’… Ingat, kan…?”
“Tapi… Vir… Aku...”
Saat itulah Bayu masuk ke dalam ruangannya, “Bagaimana, sudah sampai mana obrolannya?”
Guntur membisu. Ia tampak malu…
Bayu mengangkat alisnya menatap Vira, yang mengedipkan sebelah mata kepadanya. Bayu menangkap isyarat itu, lalu dijabatnya tangan Guntur. “Baiklah, sudah siap untuk jabatan barumu?”
Guntur yang merasa tahu diri bersiap keluar ruangan, “Siap, Dan. Mohon ijin, saya langsung ke Ruang Data saja Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan kepada para Kasi dan Danki sebagai pendahuluan untuk Rapat nanti.” Ia mengangguk kepada Vira tanpa berani menatap matanya dan berlalu dari ruangan itu.
Begitu Guntur menutup pintu, Bayu bertanya, “Apa yang kamu obrolkan, Dek?” Kok Guntur pucat seperti mayat begitu ?”
“Pada intinya, sekarang mataku semakin terbuka lebar, Mas…”
“Ah… dari dulu matamu memang bulat begitu, kok,” goda Bayu.
“Eh… Mas Bayu ini… Maksudku, aku sekarang sadar dia tipe laki-laki macam apa. Persahabatan dan kesetiaan baginya ternyata hanya untuk diucapkan saja. Aku bisa mati berdiri kalau jadi istrinya…,” Vira teringat akan ucapan Guntur.
“Betul, nih ?”
“Nanti aku ceritakan selengkapnya di rumah, Mas. Yang pasti, aku makin bersyukur kau sudah memilihku menjadi istri Mas...”
“Syukurlah kalau kamu sudah mengatasinya. Aku percaya padamu.” Bayu tersenyum mengelus pipi Vira. “Sekarang apa acaramu ?”
“Aku mau ke kampus, Mas. Ada tugas mengajar.”
“Kalau begitu, tunggu aku di rumah malam nanti…” Sebelah mata Bayu mengedip nakal.
Vira kembali tersipu meski mereka hanya berdua di ruangan itu. “Iya… Aku pergi dulu, Mas…” Vira mencium tangan Bayu yang kemudian dibalas Bayu dengan mengecup dahi Vira.


**********


Dalam perjalanan menuju kampusnya, Vira merasa sangat bersyukur bahwa Tuhan telah mengaruniakan Bayu kepadanya, dan tidak menjodohkannya dengan Guntur. Terjawab sudah semua pertanyaan yang selama ini sering memenuhi benaknya, mengapa Guntur tidak bisa menjadi miliknya. Di wajahnya tersungging senyuman puas dan bahagia…



- Palembang, 3 April 2009 -