Senin, Juli 28, 2008

Keputusan Fanny

- Cerita Pendek, oleh Riffi Amalsyah -
(Dimuat dalam Majalah "Kartika Kencana" Edisi 81/TH.XXV - Juli 2008)


Azan Subuh baru saja berlalu. Matahari belum lagi menampakkan sinarnya. Namun suasana di sekitar kolam telah terlihat dengan jelas. Garis-garis pepohonan tidak lagi tampak samar-samar dalam keremangan pagi sebagaimana biasanya. Gemercik suara air yang tercurah dari parit menuju kolam terdengar jelas di tengah sunyinya pagi. Belum banyak kendaraan bermotor melintasi jalan di sekeliling kolam, udara masih sangat bersih, segar, jauh dari polusi, benar-benar mengisi paru-paru sepenuhnya. Sungguh hari Minggu yang didambakan setiap insan.
Fanny baru berlari dua putaran mengelilingi kolam, dari lima putaran yang rutin ia lakukan. Seperti biasa, saat itu sekeliling kolam mulai dipadati oleh orang-orang dari berbagai golongan. Namun kali ini banyak terlihat pria berbadan tegap, dengan potongan rambut a la crew-cut. Melihat rambut tercukur pendek nyaris gundul dengan jambul berdiri di depan kepala seperti itu, ingatan Fanny kembali ke masa empat tahun yang lalu, ketika segala kenangan manis memenuhi kehidupannya, sampai suatu hari di dua tahun lalu berubah menjadi kenangan pedih. Susah untuk dilupakan.
Kala itu Fanny masih berstatus seorang mahasiswi Semester Tiga sebuah perguruan tinggi di Bandung. Selain kuliah, Fanny juga sibuk dengan kegiatannya sebagai aktivis LSM. Dari kegiatannya itu Fanny bertemu dan berkenalan dengan Garin, seorang anggota TNI AD salah satu Batalyon di Bandung. Hubungan mereka berlanjut dan menjadi pertalian kasih yang lebih dalam. Meskipun Garin berprofesi sebagai seorang prajurit dengan sifat pendiam, ia mampu menyelami pembawaan Fanny yang terbuka, lincah, dan tidak pernah berhenti berkreasi untuk menuangkan ide-idenya. Bahkan Garin pun banyak membantu Fanny untuk keperluan kuliahnya dengan membuka jalan memperluas relasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan bagi penelitiannya.
Enam bulan berlanjut, Fanny dan Garin memutuskan untuk memperdalam hubungannya melalui pertunangan. Satu bulan kemudian, Garin harus berangkat ke Ambon, memenuhi panggilan tugas profesinya. Fanny tak pernah menyangka bahwa kepergian Garin akan membuyarkan semua mimpi dan cita-cita yang telah disusun bersama Garin. Setahun kemudian - hanya sebulan lagi sebelum kembalinya Garin ke Bandung - suatu konflik yang terjadi antar kelompok yang bertikai di Ambon telah merenggut nyawa Garin ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Kehidupan yang harus Fanny jalani setelah peristiwa tersebut terasa amat berat, terlebih saat itu ia tengah menjalani tahap akhir penyelesaian skripsinya. Namun berkat dorongan kedua orang tua, saudara-saudara, dan teman-temannya, Fanny dapat menerima semua itu sebagai takdir yang harus diterima sebagai keputusan mutlak dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Hingga akhirnya Fanny dapat menyelesaikan kuliahnya.
Waktu demi waktu yang berlalu tak lagi memberikan kesempatan bagi Fanny untuk terus larut dalam kesedihan mengenang seorang pemuda yang begitu baik dan penuh pengertian dalam hubungan mereka yang manis. Segera setelah lulus Fanny langsung diterima bekerja sebagai seorang staf Humas pada sebuah perusahaan swasta di Palembang.
Seorang anak kecil yang menangis dan melintas di hadapannya membuyarkan lamunan Fanny. Ia segera menghentikan laju kecepatan larinya. Ah, dasar pelamun aku ini, sampai lupa suasana di sekitarku, katanya dalam hati sambil tersipu malu bercampur geli membayangkan apa yang terjadi jika ia sampai jatuh terjungkal akibat menghindari anak tersebut. Fanny memandang sekeliling dan tampak suasana makin ramai.
Ia lalu melangkah keluar dari lintasan jogging mendekati tepi kolam untuk melaksanakan tahap peregangan. Tiba-tiba seorang pria hampir terjungkal menjaga keseimbangan badannya agar mereka tak bertabrakan.
"Ooohh !!! Hati-hati…," Fanny setengah berteriak kepada pria itu.
Pria itu tampak berhasil menjaga keseimbangan badannya, lalu turut menepi dari trotoar menuju ke tempat Fanny berdiri.
Fanny memandangi dengan sedikit cemas, "Anda tidak apa-apa, kan ? Mmm… maaf, ya… saya…"
"Saya baik-baik saja, tidak apa-apa. Jangan kuatir," pria itu memotong kalimat Fanny sambil tersenyum.
Fanny masih merasa bersalah, "Betul…, tidak apa-apa ? Anu… Tadi… saya…"
"Sudahlah, saya tidak apa-apa kok. Lihat, badan saya masih utuh begini. Tidak ada yang pecah, kan ?" gurau pria itu sambil mengulurkan tangannya. "Kenalkan, nama saya Yudha. Boleh tahu namamu ?"
"Emmm… Saya Fanny…," Fanny menyambut uluran tangan Yudha dengan wajah tersipu malu. Kenapa sih, aku ini… seperti ABG saja…, kata Fanny dalam hatinya.
Sesaat mereka berdua hanya diam saling berjabat tangan dan saling memandang sambil mengatur nafas yang masih tersengal. Fanny merasakan jantungnya berdetak lebih kencang. Oh… Apa yang terjadi dengan diriku ini, tanya Fanny pada hatinya. Inikah yang namanya tertarik pada pandangan pertama ?
Yudha memecah keheningan, “Fanny… Memang sesuai dengan namamu, Fanny. Dalam Bahasa Inggris, 'funny' artinya lucu atau menyenangkan… ya, kan ?"
"Kalau Yudha… artinya perang, dong ?" Fanny menyahut tak mau mengalah.
"Ya… Mungkin juga itu yang diharapkan dari orang tua saya waktu memberikan nama. Dan ternyata, sekarang saya sering melaksanakannya, walaupun teori dan latihan lebih banyak daripada praktek."
"Oh… Kalau begitu profesi anda tentara, ya ?" Selintas Fanny teringat pada Garin.
Yudha mengiyakan. Percakapan terus berlanjut kepada identitas dan hal-hal lain hingga matahari telah menampilkan diri sepenuhnya.

*****

Yudha kini sering bertandang ke tempat tinggal Fanny di sebuah wisma yang disediakan oleh perusahaannya. Semula Fanny merasa ragu menerima kunjungan Yudha setiap malam Sabtu atau Minggu, namun ia tak dapat menolak, sebab ada sesuatu yang mengisi relung hatinya yang paling dalam, yang selama ini terasa kosong setelah kepergian Garin.
Fanny dan Yudha mengisi keakraban mereka dengan pergi menonton film di bioskop, makan di restoran, atau sekedar jalan-jalan berkeliling kota. Tak ketinggalan kebiasaan jogging setiap Minggu pagi. Kesendirian yang sebelumnya dijalani oleh Fanny, kini berubah menjadi kebersamaan yang menyenangkan.
Satu kali Yudha mengungkapkan perasaannya kepada Fanny. Yudha mengatakan, bahwa ia telah tertarik kepada Fanny sejak pertama mereka bertemu. Karena kedua orang tua masing-masing telah mengetahui hubungan yang mereka jalin, Yudha menyatakan sudah siap meminta orang tuanya di Jakarta untuk menemui orang tua Fanny di Bandung. Akan tetapi, Fanny selalu mengelak dengan alasan ia belum siap untuk melanjutkan hubungan mereka lebih jauh lagi. Fanny tidak berani mengungkapkan kekuatirannya jika harus kehilangan lagi seperti ketika ia kehilangan Garin. Fanny merasa lebih baik seperti ini saja. Namun Yudha tidak pernah memaksa. Fanny merasakan betapa Yudha sangat menghargai perasaannya.
Malam Minggu itu, seperti biasa Yudha mengunjungi Fanny lalu mengajak makan di restoran favorit mereka. Setelah pesanan datang, Yudha meraih dan menggenggam tangan Fanny di atas meja.
"Fan… Boleh aku bicara ?"
"Eh… Tentu boleh, dong. Sejak kapan kebebasan berbicara Mas Yud aku cekal ?" Fanny sengaja bercanda untuk menutup keterkejutannya. Hatinya berdebar-debar.
Yudha mempererat genggamannya, ia tambah bersemangat melihat wajah Fanny yang bersemu kemerahan. "Aku ingin, kamu tahu perasaanku. Sudah lama aku ingin mengatakannya lagi sejak kamu menolakku. Tapi sekarang aku tak peduli lagi apa alasanmu, Fan. Aku sayang kamu. Bukan hanya itu, tapi aku juga ingin kamu jadi pendamping hidupku."
Kalimat itu membuat jantung Fanny berdetak kencang, kebahagiaan seakan menyelimuti seluruh tubuh dan jiwanya. Mata indah Fanny membulat bersinar bersama senyumnya yang merekah. Ternyata ia laki-laki yang gigih dan tak kenal menyerah. Tapi bagaimana lagi caraku untuk menghindar darinya, pikir Fanny kebingungan mencari alasan yang tepat. Fanny masih belum berani mengambil keputusan.
"Tapi, aku…" jawab Fanny sekenanya.
"Ayo, katakan kalau kamu juga sayang aku," desak Yudha.
"Mas Yudha, aku 'kan sudah pernah bilang dulu…"
"Aku tidak percaya kalau kamu tidak sayang sama aku," Yudha terus menatap tajam pada mata Fanny. Ia mengeraskan genggamannya.
Fanny gugup dan mencoba menghindari tatapan mata Yudha. Tapi dengan genggamannya Yudha berhasil membuat Fanny kembali menatapnya.
"Iya, Mas… Sebetulnya aku juga sayang kamu. Tapi, aku… Aku… Eee... aku…" "Kenapa gadisku jadi gagu begitu ?" Yudha tersenyum geli melihat Fanny menjadi salah tingkah. "Ada sesuatu yang ingin kamu katakan ? Apa kamu ingin menyampaikan sesuatu yang belum pernah kamu ungkapkan ? Aku siap mendengar apa pun yang akan kamu utarakan, Fan… Setelah hubungan yang kita bina selama ini, masa sih, kamu masih belum bisa mempercayaiku ?"
Rentetan pertanyaan Yudha membuat Fanny semakin gugup. Ia bingung untuk menjelaskan hal sesungguhnya.
Melihat sikap Fanny demikian, Yudha melonggarkan genggaman tangannya perlahan-lahan.
"Aku tidak akan memaksamu, Fanny. Aku akan menunggu terus sampai kamu menjawab lamaranku. Yang penting, aku sudah tahu bahwa kamu menyayangi aku. Itu sudah cukup bagiku. Aku tidak akan memaksamu memberikan jawaban dengan tergesa-gesa. Aku tahu kamu perlu waktu. Sekarang makanlah dulu, tidak enak kalau sudah dingin."
Yudha menghela nafas lega walau tatapan matanya menjadi agak muram. Lalu ia menyantap makanan yang sudah tersedia.
Fanny tidak berkata apa pun. Ia juga segera memasukkan makanan ke dalam mulutnya, pikirannya menerawang jauh. Apakah aku sanggup menghadapi kehilangan kembali, seandainya suatu waktu Mas Yudha meninggalkanku karena tugasnya, hati Fanny pun resah.
Sementara itu, sosok Yudha yang selalu menunjukkan sikap santun, Yudha yang selalu bersabar hati dan menunjukkan sikap menghormati martabat dan harga dirinya sebagai wanita, terus berkelebat silih berganti dalam benak Fanny. Saat-saat Yudha menelepon mengingatkan Fanny akan kewajiban ibadahnya begitu menyenangkan. Sebenarnya, apa lagi yang menjadi keberatanku untuk menerimanya... tanya Fanny pada dirinya.
Mata Yudha terus melekat pada wajah ayu Fanny yang menunduk menikmati santapannya. Kekaguman akan kemandirian dan kedewasaan Fanny makin mendorong keinginan Yudha untuk mewujudkan hasrat menjadikan Fanny sebagai istrinya. Gemuruh di hati Yudha seakan ingin berteriak meyakinkan Fanny betapa ia sangat mengasihinya. Betapa ingin ia menggantikan dan mengisi tempat di hati Fanny yang dulu pernah diisi oleh seorang pria pada masa lalunya. Tapi Yudha menahan diri. Sifat ksatria yang mendarah-daging di tubuhnya membawanya pada sikap penguasaan diri. Aku harus sabar dan ksatria, katanya pada dirinya sendiri.
Melihat Fanny terus terdiam, hati Yudha menjadi iba. Ia lalu membuka percakapan memecah kebekuan, menanyakan kegiatan Fanny selama seminggu, dan terus bercerita seolah tak ada hal penting yang telah terjadi.

*****

Sepanjang malam itu Fanny gelisah. Terus terbayang seluruh percakapannya dengan Yudha. Terbayang lagi tatapan Yudha yang berbeda dari biasanya. Di benaknya berkecamuk banyak pertanyaan. Mengapa aku harus mengecewakannya ? Padahal sudah jelas aku juga mencintainya ? Apakah aku harus terus selamanya merasa ketakutan seperti ini ? Sampai kapan aku akan bertahan ? Bukankah setiap manusia telah ditentukan nasibnya oleh Sang Penciptanya sejak lahir ? Bukankah semua orang pasti akan meninggalkan dunia yang fana ini, tak peduli ia berprofesi sebagai apa pun ? Fanny berusaha bangkit.
Ah, aku tidak boleh begini terus. Aku harus tegar. Apapun yang akan terjadi kelak, aku serahkan saja pada Tuhan... Fanny menarik nafas dalam, ia memejamkan matanya. Ya Tuhan, bantulah aku menghadapi segala kehendak-Mu. Aku harus mengatakan perasaanku pada Mas Yudha. Bantulah aku untuk dapat mengatakan perasaanku yang sesungguhnya kepada Mas Yudha esok, pintanya dalam hati. Akhirnya Fanny tertidur bersama mimpi indahnya.

*****

Keesokan harinya, Minggu pagi, seperti biasa mereka bertemu di 'Kambang Iwak' – kolam ikan, lokasi olah raga tempat pertemuan pertama – untuk jogging bersama. Saat istirahat, mereka duduk di tepi kolam sambil memperhatikan anak-anak yang tengah mencari ikan menggunakan jala kecil.
"Fan… Kamu sedih tidak, kalau aku harus meninggalkan kota ini untuk beberapa bulan lamanya ?" Yudha memecah keheningan.
"Maksud Mas Yud… ?" Fanny agak terkejut.
"Aku mendapat tugas berangkat ke daerah rawan di Papua, Fan. Lamanya enam bulan. Kalau ada apa-apa, ya jadi satu tahun. Kalau tambah gawat, ya dua tahun. Dan kalau betah, ya tidak pulang-pulang," Yudha tersenyum-senyum melihat ekspresi wajah Fanny yang terkejut.
"Kapan Mas Yudha berangkat ?" Fanny bertanya dengan cepat.
"Sesegera mungkin, Fan. Begitu ada perintah, kami langsung berangkat. Bisa minggu ini juga, bisa bulan depan, bahkan bisa juga nanti malam," jawab Yudha sambil tersenyum lebar.
"Mas Yud jangan bercanda, ah…" Fanny tampak gusar.
"Aku tidak bercanda. Aku serius nih, dua rius malah. Kalau kamu mau, sepuluh rius juga boleh," canda Yudha.
"Kenapa mendadak, Mas ?" tanya Fanny. Tanpa disadari ekspresi wajahnya menunjukkan luka dan kepedihan.
"Di lingkungan tentara itu tidak ada yang serba mendadak, Fan. Semua sudah direncanakan, jadi aku sebagai prajurit harus selalu siap menerima tugas apa pun yang diperintahkan. Sebetulnya aku ingin mengatakannya tadi malam, tapi… ya, kamu tahu sendiri ‘kan ? Jadi…, " Yudha membiarkan kalimatnya menggantung.
"Jadi, apa… ?" suara Fanny terdengar gusar.
"Jadi, bagaimana dengan hubungan kita ? Aku harus bagaimana ?" suara Yudha terdengar menggoda.
Seketika Fanny mengerti dan balas menggoda, "Iya, yaa… T'rus, aku juga harus bagaimana ?"
Yudha balik terkejut, tidak menyangka jawaban Fanny. Hatinya mulai gusar dan wajahnya kaku. Fanny tergelak.
"Kamu jangan menyiksaku dong, Fan…" Yudha memelas.
"Aku akan menunggumu di sini, Mas. Apa pun yang akan terjadi," jawab Fanny tegas.
"Sungguh ? Bagaimana kalau aku pulang nanti kamu sudah punya pacar baru ? Waktu kulamar kemarin saja kamu tidak menanggapinya."
Fanny tersenyum lembut, "Mas Yud… Aku sudah berpikir semalaman, aku akan menerimamu apa adanya."
"Betul, kamu mau jadi istriku ? Betul, Fan ?" suara Yudha meninggi kegirangan.
"Ya betul, dong… Kalau Mas Yud tidak percaya, ya sudah…," Fanny tersenyum-senyum.
"Eh, eh… Tidak, aku percaya. Aku percaya," ucap Yudha seakan takut Fanny meralat ucapannya.
"Semua sudah aku pikirkan, Mas. Tapi sekarang aku ingin berterus terang dulu kepada Mas Yudha …"
Fanny selanjutnya mengungkapkan sebab kegalauan hatinya tentang rasa kuatir kehilangan lagi seseorang yang dicintainya … Akhirnya Fanny menghela nafas panjang, "Sekarang Mas Yud mengerti, 'kan ?"
"Iya, aku mengerti Fan. Tapi kamu jangan kuatir, aku akan selalu berusaha menjaga diriku baik-baik selama bertugas. Itu juga pasti yang dilakukan oleh Garin dulu, tapi Tuhan berkehendak lain. Makanya… kamu harus rajin-rajin berdoa buatku, dong. Nah… Sekarang, dengan adanya rencana keberangkatanku ke Papua, bagaimana perasaanmu ?" tanya Yudha kembali.
"Aku ikhlas, Mas. Ternyata, selama ini aku tuh kurang keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Berkehendak. Kalau memang jodoh, kita pasti bisa bersama sampai kapan pun. Iya, kan ?"
Yudha tersenyum lalu merengkuh gadis itu dalam rangkulannya. "Terima kasih, Fan… Sekarang, boleh aku memelukmu ? Sedikit saja, kok."
Meski malu, Fanny tak kuasa menolaknya …

*****

Suara gamelan yang terdengar dari luar rumah mulai berkumandang, menandakan rombongan pengantin pria telah datang. Kicauan burung-burung di atas dahan pohon sekeliling rumah orang tua Fanny seakan memberi tanda bahwa cuaca kota Bandung saat itu begitu cerah. Untaian dan harum bunga melati menghiasi sanggul Fanny yang tengah bersiap menyambut saat-saat bersejarah dalam hidupnya.
Sebentar lagi, Yudha akan mengucapkan janjinya dalam akad nikah mereka. Enam bulan berlalu setelah penantian Fanny akan kembalinya Yudha dari medan tugas, ternyata tidak meruntuhkan ketegaran hati Fanny dalam menyongsong masa depan bersama Yudha kelak.
Senyum penuh kebahagiaan mengembang di sudut bibir Fanny ketika melihat kehadiran Yudha yang tengah menatapnya sambil memasuki ruangan – menambah keindahan wajah Fanny. Fanny menyadari, apa pun yang akan terjadi, dengan kepasrahan yang dalam, maka setiap manusia akan sanggup menerima segala kehendak-Nya.
Bersama tekad itu, Fanny menyambut kedatangan Yudha untuk bersama menuju meja upacara pernikahan …


************************


(Palembang, 1 Desember 2000)